Rabu, 31 Oktober 2012

Menyusuri Pantai Selatan Tanah Jawa (bag.3) Gresik - Pacitan


Gresik - Pacitan

Jika perjalanan ke bagian timur di sisi selatan Jawa bisa kami lakukan dalam beberapa etape dengan waktu yang berbeda, maka perjalanan ke arah barat tidak bisa seperti itu. Jadi perjalanan dilakukan sekaligus yang tentunya memakan waktu yang tidak sedikit, sehingga perlu direncanakan dengan matang. Berbekal referensi dari National Geographic Traveler, kami merencanakan akan menempuh bagian barat sisi selatan Jawa selama 7 hari termasuk rute kembali melalui Pantura Jawa. Rute perjalanan yang kami rencanakan, start dari Gresik menuju Pacitan, Pangandaran, Kampung Naga, Ujung Genteng sampai ke Ujung Kulon, sebelum kembali ke Gresik lewat jalur Pantura Jawa. Medan yang akan dilalui cukup berat sehingga persiapan ekstra terutama kendaraan harus benar-benar dilakukan disamping persiapan fisik anggota tim.
 
Tanggal 8 Oktober 2011 kami berangkat pagi dari Gresik tujuan Pacitan, dengan rute normal lewat Jombang, Kertosono, Kediri sampai Tulungagung. Dari Tulungagung ke arah Trenggalek kami memutuskan untuk mengambil rute lewat Pule dan Ngadirejo. Dari Tulungagung menuju Pule jalanan yang dilalui sudah mulai terasa tipikal khas jalur selatan, kecil meliuk-liuk menyusuri perbukitan. Beberapa bagian malah masih ada sisa-sisa longsoran tanah di bagian lainnya masih cukup banyak yang sedang diperbaiki. Perlu ekstra hati-hati dan kesabaran untuk lewat jalur ini, tetapi rasanya sepadan dengan pemandangan yang kami temui. Mata benar-benar dimanjakan oleh pemandangan alam yang tersaji.
 
 
Jalan melintasi perbukitan
 

Pemandangan sepanjang jalan
 
 

Pantai selatan sebelum Pacitan
 

PLTU Pacitan 
 

Tipikal Jalur Selatan Jawa


Sore sekitar jam 16.00 kami tiba di Pacitan, kota yang cukup bersih dan rapi. Penginapan tersedia cukup banyak dengan harga yang bervariasi tetapi umumnya tidak terlalu mahal. Kabupaten Pacitan terletak di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur. Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo di utara, Kabupaten Trenggalek di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) di barat. Sebagian besar wilayahnya berupa pegunungan kapur, yakni bagian dari rangkaian Pegunungan Kidul sehingga kurang sesuai untuk pertanian.

Pacitan merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki banyak tempat wisata potensial. Sebut saja wisata pantai, terdapat pantai laut selatan yang menawan yang sudah dikenal banyak wisatawan seperti Pantai Teleng Ria, Srau, Klayar atau wisata goa yang tiada duanya, Goa Gong, Goa Tabuhan diantaranya.

Pantai Teleng Ria menghadap ke pantai selatan dengan hamparan pasir putih dengan panjang  3 km. Jarak dari Ibukota Kabupaten Pacitan ke pantai ini hanya 3,5 km, dan dapat dengan mudah dicapai dengan berbagai jenis kendaraan. Fasilitas yang ada di tempat wisata tersebut antara lain gardu pandang, kolam renang, arena bermain anak, penginapan serba guna bongo budoyo dan areal perkemahan, arena pemancingan, dan juga terdapt tempat pendaratan ikan. Makan malam di Pantai Teleng Ria, menjadi pilihan kami, tempat yang cukup bagus dengan hidangan khas ikan laut menjadi santapan yang lezat.


 

Kamis, 29 Maret 2012

Menyusuri Pesisir Selatan Tanah Jawa..(bag.2) Puger - Gunung Kawi


Perjalanan dari Alas Purwo arah ke barat melewati beberapa kota kecil di sisi selatan Jawa bagian timur seperti Muncar, Rogojampi, Glenmore, Genteng melalui jalan yang cukup bagus tetapi kecil dengan pemandangan alam sekitar yang menghijau, membuat perjalanan tidak membosankan. Sepanjang jalan yang lumayan berkelak-kelok dengan sisi jalan yang berupa sawah atau ladang terkadang masih berupa hutan kecil serasa seperti melewati jalan di Bali, suasana pedesaan begitu terasa. 

Kami singgah ke rumah teman yang ada di Benculuk, dari jalan raya Genteng ke arah selatan, untuk melihat sekaligus menikmati lobster. Sebagai pengepul lobster skala cukup besar, teman ini menerima kiriman lobster dari para nelayan di sekitarnya, ditampung untuk kemudian dikirim ke beberapa tempat seperti Surabaya bahkan sampai ke luar pulau.

Penampungan Lobster

Salah satu kolam penampung lobster

Lobster dalam bentuk lain

Perjalanan diteruskan menuju Pantai Puger, sebuah pantai di bagian selatan Jember. Jalan masih lumayan berkelak-kelok, apalagi ketika melewati kawasana Gunung Kumitir, sebuah kawasan perbukitan dengan jalanan meliuk-liuk di sepanjang punggungnya, kawasan yang sebetulnya cukup rawan, karena segala macam kendaraan yang melintasinya termasuk truk-truk besar yang lambat, pemandangan alamnya masih sangat bagus dan menyegarkan mata. Masih cukup banyak sukarelawan, tua maupun anak-anak, yang memberi tanda di tiap tikungan yang tajam di area ini, sambil mengharapkan imbalan sekedarnya dari pengendara yang lewat.

Petunjuk arah aman di tikungan

 
Sukarelawan di tikungan lainnya

 

Pantai Puger, 36 km arah barat Laut Kota Jember dikenal sebagai muara hasil laut yang cukup dominan – baik yang masih segar atau produk olahan seperti ikan asin dan terasi. Disamping sebagai tempat pelelangan ikan juga sebagai tempat wisata karena alamnya yang indah. Puger memiliki pantai yang panjangnya kurang lebih 3 km. Bersantai menghabiskan waktu di sore hari, kita bisa menyantap gurihnya ikan bakar sambil menikmati hembusan angin pantai dan pemandangan Pulau Nusa Barong. Disini juga cocok buat yang punya hobby mancing karena perairan di sisi sebelah dalam airnya cukup tenang untuk bersantai sambil menunggu umpan disantap ikan Wisatawan berkunjung ke Pantai Puger selain menikmati keindahan panorama alamnya juga dapat berperahu menyusuri pantai. Di Pantai Puger inilah setiap tahun diadakan acara "Larung Sesaji" sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang diberikan.

Kesibukan pelelangan ikan Pantai Puger


Deretan perahu nelayan Puger

 
Bongkar muatan

 
Menyusuri Pantai Puger

 
Dari Pantai Puger perjalanan diteruskan menuju arah barat, menuju Lumajang. Tujuan kami ke Lumajang adalah ke Pura Mandara Giri Semeru Agung yang terletak di kawasan Senduro, Lumajang, pura yang terbesar di Jawa Timur.


Malam di Kori Agung Pura Semeru

Malam di Mandala Utama


Pagi di Mandala Utama

 
Dari Lumajang kami meneruskan perjalanan menuju Gunung Kawi, melewati daerah selatan Jawa bagian Timur, yang masih tetap asri, menghijau sepanjang jalan. Berhenti sejenak di kawasan yang disebut sebagai Piket Nol, yang ternyata adalah jembatan panjang dengan view sekitar yang menawan, cocok untuk beristirahat.


Piket Nol di kejauhan

Jembatan Piket Nol


Pemandangan dari Piket Nol

 
Gunung Kawi


Selanjutnya kami menuju Gunung Kawi, sebuah kawasan yang dikenal orang kebanyakan sebagai tempat mencari pesugihan. Kawasan Gunung Kawi, terletak di lereng selatan Gunung Kawi pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Persisnya berada di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang Jawa Timur.  Dikenal sebagai Makam Gunung Kawi atau Pesarean Gunung Kawi, sesuai namanya memang situs ini berupa kompleks makam leluhur pendiri desa Wonosari yang terletak di Gunung Kawi. Untuk menuju ke sana, bisa lewat Kepanjen, Kota Kabupaten Malang,  untuk selanjutnya mengikuti jalan desa yang berkelok-kelok naik turun menuju ke desa Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi. Jalan desa yang menuju ke lokasi ini sudah tergolong layak, sudah banyak penunjuk jalan menuju ke situs tersebut juga tersebar di sepanjang jalan. Situs ini telah dijadikan salah satu obyek wisata oleh pemerintah kabupaten Malang dengan nama Wisata Religi Gunung Kawi.

Makam Gunung Kawi sebenarnya adalah sebuah kompleks pemakaman leluhur pendiri desa Wonosari yang bernama Kyai Zakaria (Panembahan Eyang Djoego) dan Raden Mas Iman Sudjono. Bermula pada era sekitar tahun 1830an, setelah kekalahan pasukan Pangeran Diponegoro dari Mataram Islam oleh Belanda, banyak pengikut dan pendukung Pangeran Diponegoro yang melarikan diri menghindar dari kejaran Belanda ke arah wilayah timur pulau Jawa, tepatnya yang saat ini menjadi propinsi Jawa Timur. Para pelarian itu diantaranya adalah penasehar spiritual Pangeran Diponegoro, Eyang Djoego atau yang juga disebut dengan Kyai Zakaria. Dalam pelarian sebelumnya, beliau pergi keberbagai daerah diantaranya Pati, Bagelan, Tuban, dan kemudian ia menuju ke arah tenggara wilayah Malang (Kepanjen). Pengembaraannya kemudian berakhir di wilayah Kesamben, Blitar tepatnya di dusun Djoego, sekitar tahun 1840 an, ia kemudian menetap disana serta mendirikan Padepokan Djoego.

Dalam era satu dekade sejak 1840-1850 an, di dusun itu banyak berdatangan pula para pelarian bekas pasukan Pangeran Diponegoro yang kalah perang. Diantaranya adalah putra angkat Kyai Zakaria / Eyang Djoego yang bernama R.M. Iman Soedjono, beliau adalah bekas dari salah satu Senopati Pangeran Diponegoro yang kemudian ikut membantu dalam pengembangan Padepokan Djoego di dusun tersebut. Dalam era dekade tersebut, datang pula pelarian lain, yaitu murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun yang berasal dari Warungasem, Pekalongan.

Kyai Zakaria / Eyang Djoego diakhir hayatnya beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan (kramatkan) disebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur  yang berlokasi di hutan lereng selatan Gunung Kawi .Demikianlah setelah meninggalnya Kyai Zakaria, beliau pun kemudian dimakamkan di gumuk tersebut pada tahun 1871. Pada tahun 1876, anak angkatnya yang juga sekaligus pendiri desa itu R.M. Iman Soedjono meninggal dan dimakamkan bersebelahan dengan Kyai Zakaria / Eyang Djoego. Sejarah gumuk makam tersebut tidak pernah sepopuler seperti sekarang, setidaknya sebelum tahun 1931-an. Namun pada periode sebelum tahun tersebut, makam itu sudah mulai ramai dikunjungi para peziarah kubur. Pada 1931 datanglah seorang Tionghoa bernama Ta Kie Yam ke desa tersebut, sebagai ungkapan terima kasihnya setelah doanya terkabul ketika berziarah ke makam tersebut, kemudian ia dibantu oleh kawan-kawannya dari Singapura mulai membangun jalan menuju ke bukit makam tersebut, yang juga kemudian dibangun pula beberapa gapura dan taman sari di areal sekitar makam sebagai tanda penghormatan atas almarhum.

Suasana jalan masuk pesarean

Selametan wayang kulit

Pintu gerbang Pesarean Gunung Kawi


Yang unik di situs ini adalah seakan-akan mewakili corak kemajemukan agama di Indonesia. Awalnya sebuah makam leluhur desa yang kemudian menjelma menjadi kompleks ziarah dan peribadatan berbagai agama di Indonesia baik Islam, Konghucu, Budha, Hindu, kepercayaan (Kejawen) maupun Kristen dan Katolik.

Ciamsi



Situs lain di Gunung Kawi yang masih digunakan sebagai tempat ibadah dikenal dengan nama Keraton Gunung Kawi. Terdapat pura dan kelenteng yang letaknya berdampingan di kawasan hutan yang asri, setengah jam dari Pesarean Gunung Kawi ( Makam Eyang Jugo ). Menurut sejarah, ini merupakan petilasan Prabu Sri Kameswara, pada tahun 1200 Masehi, lokasi ini pernah menjadi tempat pertapaan Prabu Kameswara, pangeran dari Kerajaan Kediri yang beragama Hindu, saat tengah menghadapi kemelut politik kerajaan. Konon, setelah bertapa di tempat ini, sang prabu berhasil menyelesaikan kekacauan politik di kerajaannya. Kini petilasan ini menjadi tempat pemujaan (pura).


Pura Keraton Gunung Kawi

Persembahyangan di Keraton Gunung Kawi

Bersama Singgih Pandita









 



  
    

Selasa, 20 Maret 2012

Menyusuri Pesisir Selatan Tanah Jawa (bag 1 ) - Alas Purwo

Terinspirasi laporan National Geographic Traveller, yg telah melakukan penyusuran selatan Jawa, kami juga punya tekad yang sama. Menempuh jalur yang berlawanan dengan team nya NGT, kami memulainya dari bagian timur pesisir selatan. Sejatinya perjalanan non stop kami berlangsung selama 7 hari, start dari Gresik langsung Pacitan, selanjutnya menyusuri pesisir selatan sampai Ujung Kulon, kembali ke Gresik lewat jalur pantura. Sedangkan bagian timur mulai Alas Purwo kami tempuh dalam perjalanan tersendiri, per etape dan waktu yang berbeda.

Mendengar nama Alas Purwo, imajinasi orang pasti akan tertuju pada sebuah kawasan hutan lebat. Hal itu memang benar, Alas Purwo adalah sebuah kawasan hutan Taman Nasional di bawah lingkup Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Sebuah hutan lebat (dan angker) dengan berbagai macam habitat yang hidup di dalamnya, konon termasuk dalam 7 daftar tempat paling angker di dunia dan tempat terangker di P. Jawa.

Taman Nasional Alas Purwo (TN Alas Purwo) adalah taman nasional yang terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Secara geografis terletak di ujung timur Pulau Jawa wilayah pantai selatan. Taman nasional ini memiliki ragam obyek dan daya tarik wisata alam dan wisata budaya (sea, sand, sun, forest, wild animal, sport and culture) yang letaknya tidak begitu jauh satu sama lain. Bagi masyarakat sekitar, nama Alas Purwo memiliki arti sebagai hutan pertama, atau hutan tertua di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, tak heran bila masyarakat sekitar menganggap Alas Purwo sebagai hutan keramat. Sehingga, selain diminati sebagai tujuan wisata alam, kawasan Alas Purwo juga diyakini memiliki situs-situs yang dianggap bersejarah yang sering dipakai untuk melakukan ritual.

Pintu Gerbang TN Alas Purwo


Alas Purwo dapat dicapai dari arah Banyuwangi di timur atau Jember di sebelah barat. Baik dari arah barat atau timur akan bertemu di Rogojampi untuk kemudian menuju selatan ke arah Muncar. Dari Bantuwangi perlu waktu sekitar 2,5 jam untuk sampai di Alas Purwo. Untuk sampai di Alas Purwo, memang harus siap banyak bertanya kepada masyarakat di sepanjang perjalanan, pasalnya banyak cabang jalan yang tanpa pelang nama Alas Purwo. Setelah melalui jalan beraspal sampai di Pasaranyar, perjalanan selanjutnya memasuki hutan dengan kondisi jalan yang rusak. Beberapa bagian diantaranya tergenang air, cukup menyulitkan jika memakai kendaraan dengan ground clearance rendah seperti sedan. Di kanan-kiri berjejer pohon jati, dan jumlah masyarakat yang lewat pun bisa dihitung dengan jari. Bagi yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, masyarakat sekitar menyiapkan sebuah angkutan tradisional yang lazim disebut grandong. Angkutan ini mirip sebuah mobil truk, akan tetapi mesinnya menggunakan mesin genset.


Jalan masuk hutan Alas Purwo

Bagian jalan yang tergenang

Setelah melewati pintu gerbang kita akan tiba di pos Rawa Bendo, pengunjung wajib mendaftarkan diri dan membayar tiket masuk di pos ini, setelah itu dapat memulai penjelajahan hutan, mengunjungi situs-situs bersejarah, atau langsung menuju obyek wisata pantai, seperti Segara Anakan, Pantai Trianggulasi, Pantai Ngagelan, serta lokasi surfing di Pantai Plengkung. Plengkung yang berada di sebelah Selatan Taman Nasional Alas Purwo telah dikenal oleh para perselancar tingkat dunia dengan sebutan G-Land. Sebutan G-land dapat diartikan, karena letak olahraga selancar air tersebut berada di Teluk Grajagan yang menyerupai huruf G. Ataupun letak Plengkung berada tidak jauh dari hamparan hutan hujan tropis yang terlihat selalu hijau (green-land). Plengkung termasuk empat lokasi terbaik di dunia untuk kegiatan berselancar dan dapat disejajarkan dengan lokasi surfing di Hawai, Australia, dan Afrika Selatan.



Bersama Evie tunggangan setia

Kami tidak sampai mengunjungi Pantai Plengkung karena sudah menjelang malam, lagipula tujuan utama kami adalah ke Pura Giri Selaka yang berlokasi di tengah hutan Alas Purwo ini. Letak pura ini sekitar 1 km dari pos Rawa Bendo, sebuah pura yang bersejarah disamping situs-situs lainnya yang banyak terdapat di hutan ini seperti Goa Padepokan dan Goa Istana. Masyarakat sekitar taman nasional sarat dan kental dengan warna budaya “Blambangan”. Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit dan meyakini bahwa di hutan taman nasional masih tersimpan Keris Pusaka Sumelang Gandring.

Menurut berita sebetulnya Pura Giri Selaka ditemukan secara tidak sengaja oleh umat di sekitarnya pada tahun 1967. Saat itu, masyarakat Kecamatan Tegaldlimo melakukan perabasan terhadap sejumlah kawasan hutan Alas Purwo untuk bercocok tanam. Suatu ketika, di tempat berdirinya Pura Alas Purwo yang oleh masyarakat disebut Situs Alas Purwo, ada sebuah gundukan tanah. Masyarakat ingin meratakan dan menjadikan lahan cocok tanam. Tanpa diduga, ada bungkahan-bungkahan bata besar yang masih tertumpuk, persis seperti gapura kecil. Lantas masyarakat sekitarnya membawa bungkahan bata-bata itu ke rumahnya. Ada yang menjadikan bahan membuat tungku dapur, ada juga untuk membuat alas rumah. Rupanya, keluguan masyarakat itu telah menyebabkan munculnya musibah bagi warga yang mengambil bata-bata tersebut. Selang beberapa saat setelah mengambil bata itu, semuanya jatuh sakit. Pada saat itulah diputuskan agar bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempatnya semula. Bongkahan-bongkahan itu adalah tempat petapakan maharesi suci Hindu zaman dulu. Meski belum ada catatan resmi dalam prasasti, masyarakat mempercayai yang malinggih di situs Pura Alas Purwo adalah Empu Bharadah. Tetapi, ada juga yang menyebut Rsi Markandiya sebelum mereka menuju Bali.

Selanjutnya, masyarakat setempat sangat yakin dengan kekuatan dan kesucian situs Alas Purwo tersebut. Dengan bantuan dan upaya dari pihak Departemen Kehutanan, umat Hindu yang mayoritas bertempat tinggal di sekitar Mariyan, nama kawasan yang telah dibabat hutannya itu, akhirnya membangun sebuah pura, sekitar 65 meter dari situs Alas Purwo saat ini. Sementara situs itu sendiri dibiarkan seperti semula, namun tetap menjadi tempat pemujaan bagi semua umat manusia, tak terbatas hanya umat Hindu.

Pura Giri Selaka Alas Purwo


Utama Mandala

Kori Agung dari Utama Mandala

Peta Area Alas PUrwo