Perjalanan dari Alas Purwo arah ke barat melewati beberapa kota kecil di sisi selatan Jawa bagian timur seperti Muncar, Rogojampi, Glenmore, Genteng melalui jalan yang cukup bagus tetapi kecil dengan pemandangan alam sekitar yang menghijau, membuat perjalanan tidak membosankan. Sepanjang jalan yang lumayan berkelak-kelok dengan sisi jalan yang berupa sawah atau ladang terkadang masih berupa hutan kecil serasa seperti melewati jalan di Bali, suasana pedesaan begitu terasa.
Kami singgah ke rumah teman yang ada di Benculuk, dari jalan raya Genteng ke arah selatan, untuk melihat sekaligus menikmati lobster. Sebagai pengepul lobster skala cukup besar, teman ini menerima kiriman lobster dari para nelayan di sekitarnya, ditampung untuk kemudian dikirim ke beberapa tempat seperti Surabaya bahkan sampai ke luar pulau.
Penampungan Lobster
Salah satu kolam penampung lobster
Lobster dalam bentuk lain
Perjalanan diteruskan menuju Pantai Puger, sebuah pantai di bagian selatan Jember. Jalan masih lumayan berkelak-kelok, apalagi ketika melewati kawasana Gunung Kumitir, sebuah kawasan perbukitan dengan jalanan meliuk-liuk di sepanjang punggungnya, kawasan yang sebetulnya cukup rawan, karena segala macam kendaraan yang melintasinya termasuk truk-truk besar yang lambat, pemandangan alamnya masih sangat bagus dan menyegarkan mata. Masih cukup banyak sukarelawan, tua maupun anak-anak, yang memberi tanda di tiap tikungan yang tajam di area ini, sambil mengharapkan imbalan sekedarnya dari pengendara yang lewat.
Petunjuk arah aman di tikungan
Sukarelawan di tikungan lainnya
Pantai Puger, 36 km arah barat Laut Kota Jember dikenal sebagai muara hasil laut yang cukup dominan – baik yang masih segar atau produk olahan seperti ikan asin dan terasi. Disamping sebagai tempat pelelangan ikan juga sebagai tempat wisata karena alamnya yang indah. Puger memiliki pantai yang panjangnya kurang lebih 3 km. Bersantai menghabiskan waktu di sore hari, kita bisa menyantap gurihnya ikan bakar sambil menikmati hembusan angin pantai dan pemandangan Pulau Nusa Barong. Disini juga cocok buat yang punya hobby mancing karena perairan di sisi sebelah dalam airnya cukup tenang untuk bersantai sambil menunggu umpan disantap ikan Wisatawan berkunjung ke Pantai Puger selain menikmati keindahan panorama alamnya juga dapat berperahu menyusuri pantai. Di Pantai Puger inilah setiap tahun diadakan acara "Larung Sesaji" sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang diberikan.
Kesibukan pelelangan ikan Pantai Puger
Deretan perahu nelayan Puger
Bongkar muatan
Menyusuri Pantai Puger
Dari Pantai Puger perjalanan diteruskan menuju arah barat, menuju Lumajang. Tujuan kami ke Lumajang adalah ke Pura Mandara Giri Semeru Agung yang terletak di kawasan Senduro, Lumajang, pura yang terbesar di Jawa Timur.
Malam di Kori Agung Pura Semeru
Malam di Mandala Utama
Pagi di Mandala Utama
Dari Lumajang kami meneruskan perjalanan menuju Gunung Kawi, melewati daerah selatan Jawa bagian Timur, yang masih tetap asri, menghijau sepanjang jalan. Berhenti sejenak di kawasan yang disebut sebagai Piket Nol, yang ternyata adalah jembatan panjang dengan view sekitar yang menawan, cocok untuk beristirahat.
Piket Nol di kejauhan
Jembatan Piket Nol
Pemandangan dari Piket Nol
Gunung Kawi
Selanjutnya kami menuju Gunung Kawi, sebuah kawasan yang dikenal orang kebanyakan sebagai tempat mencari pesugihan. Kawasan Gunung Kawi, terletak di lereng selatan Gunung Kawi pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Persisnya berada di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang Jawa Timur. Dikenal sebagai Makam Gunung Kawi atau Pesarean Gunung Kawi, sesuai namanya memang situs ini berupa kompleks makam leluhur pendiri desa Wonosari yang terletak di Gunung Kawi. Untuk menuju ke sana, bisa lewat Kepanjen, Kota Kabupaten Malang, untuk selanjutnya mengikuti jalan desa yang berkelok-kelok naik turun menuju ke desa Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi. Jalan desa yang menuju ke lokasi ini sudah tergolong layak, sudah banyak penunjuk jalan menuju ke situs tersebut juga tersebar di sepanjang jalan. Situs ini telah dijadikan salah satu obyek wisata oleh pemerintah kabupaten Malang dengan nama Wisata Religi Gunung Kawi.
Makam Gunung Kawi sebenarnya adalah sebuah kompleks pemakaman leluhur pendiri desa Wonosari yang bernama Kyai Zakaria (Panembahan Eyang Djoego) dan Raden Mas Iman Sudjono. Bermula pada era sekitar tahun 1830an, setelah kekalahan pasukan Pangeran Diponegoro dari Mataram Islam oleh Belanda, banyak pengikut dan pendukung Pangeran Diponegoro yang melarikan diri menghindar dari kejaran Belanda ke arah wilayah timur pulau Jawa, tepatnya yang saat ini menjadi propinsi Jawa Timur. Para pelarian itu diantaranya adalah penasehar spiritual Pangeran Diponegoro, Eyang Djoego atau yang juga disebut dengan Kyai Zakaria. Dalam pelarian sebelumnya, beliau pergi keberbagai daerah diantaranya Pati, Bagelan, Tuban, dan kemudian ia menuju ke arah tenggara wilayah Malang (Kepanjen). Pengembaraannya kemudian berakhir di wilayah Kesamben, Blitar tepatnya di dusun Djoego, sekitar tahun 1840 an, ia kemudian menetap disana serta mendirikan Padepokan Djoego.
Dalam era satu dekade sejak 1840-1850 an, di dusun itu banyak berdatangan pula para pelarian bekas pasukan Pangeran Diponegoro yang kalah perang. Diantaranya adalah putra angkat Kyai Zakaria / Eyang Djoego yang bernama R.M. Iman Soedjono, beliau adalah bekas dari salah satu Senopati Pangeran Diponegoro yang kemudian ikut membantu dalam pengembangan Padepokan Djoego di dusun tersebut. Dalam era dekade tersebut, datang pula pelarian lain, yaitu murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun yang berasal dari Warungasem, Pekalongan.
Kyai Zakaria / Eyang Djoego diakhir hayatnya beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan (kramatkan) disebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur yang berlokasi di hutan lereng selatan Gunung Kawi .Demikianlah setelah meninggalnya Kyai Zakaria, beliau pun kemudian dimakamkan di gumuk tersebut pada tahun 1871. Pada tahun 1876, anak angkatnya yang juga sekaligus pendiri desa itu R.M. Iman Soedjono meninggal dan dimakamkan bersebelahan dengan Kyai Zakaria / Eyang Djoego. Sejarah gumuk makam tersebut tidak pernah sepopuler seperti sekarang, setidaknya sebelum tahun 1931-an. Namun pada periode sebelum tahun tersebut, makam itu sudah mulai ramai dikunjungi para peziarah kubur. Pada 1931 datanglah seorang Tionghoa bernama Ta Kie Yam ke desa tersebut, sebagai ungkapan terima kasihnya setelah doanya terkabul ketika berziarah ke makam tersebut, kemudian ia dibantu oleh kawan-kawannya dari Singapura mulai membangun jalan menuju ke bukit makam tersebut, yang juga kemudian dibangun pula beberapa gapura dan taman sari di areal sekitar makam sebagai tanda penghormatan atas almarhum.
Suasana jalan masuk pesarean
Selametan wayang kulit
Pintu gerbang Pesarean Gunung Kawi
Yang unik di situs ini adalah seakan-akan mewakili corak kemajemukan agama di Indonesia. Awalnya sebuah makam leluhur desa yang kemudian menjelma menjadi kompleks ziarah dan peribadatan berbagai agama di Indonesia baik Islam, Konghucu, Budha, Hindu, kepercayaan (Kejawen) maupun Kristen dan Katolik.
Ciamsi
Situs lain di Gunung Kawi yang masih digunakan sebagai tempat ibadah dikenal dengan nama Keraton Gunung Kawi. Terdapat pura dan kelenteng yang letaknya berdampingan di kawasan hutan yang asri, setengah jam dari Pesarean Gunung Kawi ( Makam Eyang Jugo ). Menurut sejarah, ini merupakan petilasan Prabu Sri Kameswara, pada tahun 1200 Masehi, lokasi ini pernah menjadi tempat pertapaan Prabu Kameswara, pangeran dari Kerajaan Kediri yang beragama Hindu, saat tengah menghadapi kemelut politik kerajaan. Konon, setelah bertapa di tempat ini, sang prabu berhasil menyelesaikan kekacauan politik di kerajaannya. Kini petilasan ini menjadi tempat pemujaan (pura).
Pura Keraton Gunung Kawi
Persembahyangan di Keraton Gunung Kawi
Bersama Singgih Pandita