Perjalanan kami menuju Candi Cetho dari Candi Sukuh terasa sangat tidak membosankan, jalan yang berliku, perkebunan yang menghijau di sepanjang jalan, kabut yang kadang tebal kadang tpis, memberi nuansa tersendiri, kedamaian begitu terasa. Patut diperhatikan, kondisi kendaraan harus benar-benar prima untuk melahap medan yang cukup berat, baik itu berupa turunan, tanjakan maupun tikungan yang terkadang tajam dan sempit.
Sepanjang perjalanan yang berkelok-kelok, kami dimanjakan dengan keindahan alam yang asri. Selain itu, bisa menikmati pula keramahan penduduk asli dengan dandanan khas berupa kupluk (penutup kepala) dan kain sarung pengusir hawa dingin, yang tersampir di leher. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.
Keberadaan kompleks Candi Cetho ini, pertama kali dilaporkan oleh Van de Vlis pada tahun 1842. Berdasarkan penelitian Van Der Vlis maupun A.J. Bernet Kempers, kompleks Candi Cetho terdiri dari empat belas teras. Namun kenyataannya yang ada pada saat ini hanya terdiri dari tigabelas teras yang tersusun dari barat ke timur dengan pola susunan makin kebelakang makin tinggi dan dianggap paling suci. Masing-masing halaman teras dihubungkan oleh sebuah pintu dan jalan setapak yang seolah-olah membagi halaman teras menjadi dua bagian.
Bentuk seni bangunan Candi Cetho mempunyai kesamaan dengan Candi Sukuh yaitu dibangun berteras sehingga mengingatkan kita pada punden berundak masa prasejarah. Bentuk susunan bangunan semacam ini sangatlah spesifik dan tidak diketemukan pada kompleks candi lain di Jawa Tengah kecuali Candi Sukuh.
Mengenai masa pendirian Candi Cetho, dapat dihubungkan dengan keberadaan prasasti yang berangka tahun 1373 Saka, atau sama dengan 1451 Masehi. Berdasarkan prasasti tersebut, serta penggambaran figur binatang maupun relief dan arca-arca yang ada, kompleks Candi Cetho diperkirakan berasal dari sekitar abad 15 dari masa Majapahit akhir. Kawasan candi ini membentang pada sebuah lahan berundak dan dibangun pada akhir kekuasaan Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Brawijaya V. Di salah satu terasnya terdapat susunan batu dengan pahatan berbentuk matahari yang menggambarkan Surya Majapahit, lambang Kerajaan Majapahit.
Sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa, candi ini dihiasi dengan arca phallus yang menjadi symbol Siwa. Terdapat juga patung Brawijaya V serta penasehatnya dan susunan batu berbentuk lingga dan yoni berukuran dua meter. Bangunan utama berbentuk trapesium berada di teras paling atas. Sampai saat ini Candi Cetho masih dipergunakan oleh penduduk sekitar yang beragama Hindu sebagai tempat beribadah. Harum bunga sesaji dan dupa ditambah dengan kabut yang sering turun menyelimuti area candi memberi kesan mistis.
Gapura yang berdiri menjulang dengan anggun di bawah langit akan langsung membawa ingatan kita pada gapura-gapura di Pulau Dewata, Bali. Dua buah patung penjaga yang berbentuk mirip dengan patung pra sejarah berdiri membisu di bawahnya.
Kami sampai di lokasi candi sekitar jam 17.00 WIB, bertepatan dengan hari terakhir bulan Suro, dengan cuaca hujan deras, kabut tebal dan udara yang sangat dingin. Dari lokasi parkir kendaraan gapura candi yang tinggi tidak terlihat, tertutup kabut tebal. Sambil menunggu hujan kami mampir ke warung, minum kopi sambil menghangatkan badan. Ketika hujan sedikit reda barulah perlahan kami memasuki kawasan candi.
Kabut tebal pelataran depan candi
Di depan phallus sepanjang 2 m
Phallus simbol penciptaan manusia
Menuju kawasan candi utama
Bangunan utama pada kompleks Candi Cetho terletak pada halaman paling atas/belakang. Bentuk bangunan dibuat seperti Candi Sukuh dan ini merupakan hasil pemugaran pada akhir tahun 1970-an bersama-sama dengan bangunan-bangunan pendapa dari kayu.
Bangunan utama candi mirip di Candi Sukuh
Arca Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa
Petilasan di sebelah candi
Gapura candi
Cuaca masih hujan dan kabut tebal ketika orang-orang yang hendak mengadakan perayaan hari terakhir Bulan Suro berdatangan. Sementara kami sudah siap-siap untuk turun menuju Tawangmangu dan Sarangan. Persoalan besarnya adalah jalan yang tertutup kabut tebak, jarak pandang tidak sampai 1 m sementara mobil tidak dilengkapi lampu kabut. Dengan kewaspadaan tinggi dan doa, setapak demi setapak mobil menuruni perbukitan menuju Tawangmangu. Benar-benar semeter demi semeter mobil dituntun melewati jalan dengan berpatokan pada rumput di pinggir jalan. Setelah hampir 2 jam barulah terlihat jalan raya di depan, baru lega rasanya setelah perjalan mencekam itu. Sempat mengisi perut di Tawangmangu perjalanan diteruskan menuju Sarangan. Astungkara....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar