Rabu, 07 Desember 2011

Flores..., Ende - Bena Village (bag.2)

 
Hari sudah beranjak siang ketika kami kembali ke Moni dari Danau Kelimutu. Setelah sarapan dan minum kopi Flores yang nikmat, perjalanan berlanjut menuju Ende. Rencana perjalanan hari ini sampai di Bajawa setelah mampir di Ende dan Bena Traditional Village. 


Dari Kelimutu ke Ende adalah pengalaman yang tak terlupakan. Jalan meliuk-liuk mengikuti cara ular berjalan. Kebun-kebun rakyat melambaikan daun-daunnya menyapa kami. Tikungan, tanjakan, turunan menemani perjalanan sepanjang kira-kira 60 km. Mendekati Kota Ende, air terjun sedang dan kecil bermain di dinding bukit batu. 




Berangkat ke gereja

Jalanan mengitari perbukitan

Bus kayu khas Flores

Pemandangan sepanjang jalan

 Narsis sejenak

Jalan menuju Ende melalui deretan pegunungan terjal, tidak beraturan, dan kelihatan sulit untuk dilalui. Sekalipun demikian kenyataannya gunung-gunung ini menyimpan banyak hal mengagumkan, baik itu kawah-kawah gunung apinya maupun desa-desa tradisional dengan  beragam budaya dan bahasanya.


Pulau Flores sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Posisinya cukup strategis karena menjadi jalur lintasan perdagangan kayu cendana dari Pulau Timor ke Cina dan ke India. Hal ini membuat Kerajaan Gowa, Kerajaan Ternate, Bangsa Portugis dan Belanda berebut untuk menguasai pulau yang panjangnya 375 km ini.

Para pendatang ini, berusaha menanamkan pengaruhnya di wilayah pesisir, tetapi hanya sedikit yang dapat menyentuh daerah pedalaman karena terhalang oleh deretan pegunungan terjal tidak beraturan. Kini bagian dalam Flores sudah lebih mudah dicapai dengan adanya jalan yang naik-turun yang membelah gunung dan berkelok-kelok.



Menyusuri jalan aspal dari Kota Ende ke arah Bajawa pada sore hari merupakan pengalaman yang sensasional. Kumpulan batu-batu berwarna hijau muda di tepi jalan, ombak laut yang malas-malasan menggerayang pantai merupakan pemandangan di sisi kiri. Sedangkan disisi kanan kita bisa menyaksikan pohon kelapa yang menjulang dan pohon kemiri dengan daunnya yang berwarna putih. Buah kemiri menjadi produk andalan dari Pulau Flores.

Hari sudah siang pada saat kami tiba di Kota Ende, kota yang pernah menjadi tempat pengasingan Ir. Soekarno. Tidak disangka di kota ini kami bertemu dengan teman dari Gresik yang hijrah ke Ende. Sangat mudah menemukan tempat tinggalnya karena dia punya warung makan khas Jawa Timur dengan nama Warung Lamongan. Sambil bercengkrama kami makan siang di warungnya.  

Kami menyempatkan untuk mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno di Ende dan melihat pohon Pancasila di pusat kota Ende. Disebut pohon Pancasila karena batang pohon sejenis nangka (?), bercabang 5 dan tempat sekitar pohon tersebut konon dulunya sering dikunjungi dan dipakai tempat Bung Karno menghabiskan waktu ketika diasingkan ke Ende. Tidak jauh dari situ terdapat patung Bung Karno.


Rumah pengasingan Bung Karno


Pohon Pancasila


Teman lama dan warungnya di Ende


Dari Ende kami meneruskan perjalanan menuju Kampung Tradisional Bena, sebuah perkampungan tradisional yang terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Ngada. Desa ini terletak di bawah kaki Gunung Inerie sekitar 13 km arah selatan Kota Bajawa. Perkampungan adat ini terkenal karena keberadaan sejumlah bangunan megalitik yang dimiliki dan tata kehidupan masyarakatnya yang masih mempertahankan keaslian perkampungan tersebut.

Kampung adat Bena terletak tepat di lereng Bukit Inerie yang agak menonjol. Warga setempat menyebut tempat ini seperti berada di atas kapal karena bentuknya memanjang seperti perahu. Konon menurut cerita yang dipercaya secara turun temurun, pada zaman dahulu sebuah kapal besar pernah terdampar di atas lereng gunung itu. Kapal itu tidak bisa berlayar lagi dan terus terdampar sampai akhirnya air surut dan menjauh dari tempat itu.


Bangkai kapal kemudian membatu dan di atasnya kemudian digunakan masyarakat setempat sebagai lokasi perkampungan. Perkampungan Bena mempunyai daya tarik sendiri bagi para wisatawan karena bangunan megalitik berupa susunan batu-batuan kuno. Tidak ada yang mengetahui secara pasti siapa yang mendirikan bangunan megalitik tersebut, namun masyarakat setempat percaya kalau bebatuan tersebut disusun seorang diri oleh seorang lelaki perkasa bernama Dhake.

Menurut warga setempat, suatu waktu datanglah sekelompok orang dan membangun sebuah perkampungan di tempat tersebut yang kemudian diberi nama Bena. Uniknya, di antara mereka ada seorang lelaki bernama Dhake yang bertekad ingin menciptakan sebuah kampung yang agung dan indah. Maka timbulah gagasan dalam benaknya untuk merancang perkampungan itu dengan menyertakan batu-batu besar sebagai hiasannya.

Terdorong oleh gagasannya itu, ia kemudian pergi ke Pantai Aimere yang berjarak sekitar seratus kilometer dari perkampungan Bena. Dari sana ia mengambil batu-batu besar berbentuk lempengan panjang atau pun meruncing, lalu dipikulnya hingga ke Bena. Batu- batu itu kemudian disusun sedemikian rupa, ada yang berdiri dan ada pula yang dibiarkan mendatar. Sususan batu-batu itulah yang saat ini dikenal dengan megalit.

Para pengunjung akan melihat dengan jelas apa yang dimaksud dengan megalit itu. Bentuknya sederhana berupa susunan batu-batu yang teratur dan berada tepat di tengah perkampungan. Pada batu megalit ini terlihat jelas bekas telapak kaki yang diyakini masyarakat setempat adalah telapak kaki milik Dhake. Menurut cerita, pada saat membangun kampung Bena ini, batu-batu yang dipikul Dhake dari Aimere, masih lembek dan tidak sekeras yang sekarang ada sehingga bekas tapak kaki Dhake nampak jelas di atas batu. Para pengunjung yang datang ke tempat ini akan menemukan jejeran rumah-rumah penduduk yang masih sangat tradisional dan terletak saling berhadapan.


Susunan batuan kuno


Megalitik, susunan batu-batu kuno


Rumah-rumah adat yang sering disebut peo ini, terbuat dari papan berbentuk panggung, beratap alang-alang dipadukan dengan dinding bambu pada teras depan yang berukuran sekitar 10 kali 10 meter. Di bagian tengah kampung terdapat monumen adat yang dibangun seperti lopo (madhu) dan sebuah rumah kecil yang disebut bhaga. Kedua bangunan ini oleh masyarakat setempat dianggap sebagai simbol pemersatu dari suku yang menempati perkampungan itu. Terdapat kurang lebih 37 rumah adat yang dibangun mengelilingi halaman persegi yang cukup lebar yang disebut dengan Kisanatha yang dipakai lapangan umum untuk kegiatan sosial dan seremonial. Terlihat pula makam-makam yang ada di sekitar bangunan rumah mereka. Jika ada warga kampung yang meninggal, akan dimakamkan di sekitar rumah mereka.

Masyarakat setempat benar-benar bertekad untuk mempertahankan keaslian perkampungan tersebut. Semua rumah dibangun menyerupai rumah adat dan tidak diizinkan membangun rumah dengan campuran yang bergaya modern. Listrik pun tidak diizinkan sehingga untuk penerangan hanya digunakan lampu pelita. Hal ini sengaja dikondisikan untuk mempertahankan citra perkampungan adat tersebut sesuai sejarah pembangunannya.

Masyarakat kampung Bena umumnya ramah terhadap pengunjung, dimana setiap pengunjung yang datang pasti disambut dengan senyuman, sebagai sapaan. Kita bisa bertanya-tanya tentang budaya yang mereka miliki dan dengan sangat baik akan dijelaskan kepada kita perihal budaya setempat.

Perjalanan menuju kampung adat Bena ini memerlukan kondisi kendaraan yang prima, karena jalannya menanjak dan menurun dengan sudut yang ekstrem. Pemandangan yang eksotis dengan latar belakang Gunung Inerie yang khas, berbentuk segitiga, hampir seperti gambar-gambar gunung yang digambar anak SD, merupakan obat penebus rasa lelah. Sudah cukup sore ketika kami sampai di Bena, disambut oleh penduduk setempat dengan keramahan yang khas. Ketika kami mengisi buku tamu terlihat jelas bahwa yang mengunjungi Kampung Bena ini didominasi oleh tamu mancanegara. Sangat sedikit tamu lokal, cukup prihatin juga, mudah-mudahan nantinya lebih banyak lagi tamu lokal yang ke sini.


Jalan masuk Bena


Mengisi waktu luang di Bena


Struktur rumah adat di Bena


Rumah adat dengan tenun ikat


Makam di Kampung Bena


Gunung Inerie di latar belakang


Dari ujung kampung


Serasi dengan alam


Penduduk yang ramah

Berkeliling di pemukiman ini seperti memasuki peradaban masa silam, sederhana tapi penuh makna. Begitu banyak kearifan yang dipunyai mereka, sehingga mereka bisa hidup dengan nyaman di tengah alam sekitarnya. 
    



1 komentar:

  1. terima kasih kepada pemerintah setempat yang telah mengekspos,sehingga menjadi suatu tempat pariwisata yang sangat terkenal.semoga ini menjadi salah satu faktor penting bagi indonesia timur yang selama ini tidak dipandang sebelah mata oleh pemerintah,ini menjadi awal bawha indonesia timur itu menyimpan banyak rahasia keindahan dunia yang patut diperhitungkan oleh negara ini.harapan saya ini tetap di pertahankan di kampung bena secara culture dan juga tidak terlepas dari partisipasi pemerintah setempat untuk tetap mengekspos kampung ini.dan juga dapat membuka mata bagi masyarakat disana untuk memanfatkan tempat pariwisata ini.

    BalasHapus