Selasa, 20 Desember 2011

Kampung Naga

Beragam bayangan akan muncul ketika mendengar Kampung Naga, kampungnya para naga, kampung penghasil buah naga atau lainnya yang berhubungan dengan hal-hal yang berbau naga. Demikian juga kami pada awalnya, sebelum menginjakkan kaki di sana, bemacam bayangan sudah terbentuk. Perjalanan ke Kampung Naga kami awali dari Pangandaran, sebagai rangkaian menelusuri Jawa Bagian Selatan. Hari ketiga sejak berangkat dari Gresik kami berangkat dari Pangandaran lewat jalur Banjarsari, Banjar, Ciamis, Tasikmalaya.

Kampung Naga hanyalah sebuah kampung kecil, yang karena para penduduknya patuh dan menjaga tradisi yang ada, membuat kampung ini unik dan berbeda dengan yang lain. Tak salah jika kampung ini menjadi salah satu warisan budaya Bangsa Indonesia yang patut dilestarikan.

Kampung Naga secara administratif terletak di kampung Legok Dage, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Lokasi Kampung Naga terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya - Bandung melalui Garut, yaitu kurang lebih pada kilometer ke 30 ke arah Barat kota Tasikmalaya. Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer. Kampung Naga berada tepat di sebuah lembah yang subur yang dilalui oleh sebuah sungai bernama sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray Garut.

Kampung Naga adalah salah satu kampung adat dari sekian kampung-kampung adat yang ada di Jawa barat dan masih tetap melestarikan kebudayaan dan adat leluhurnya. Yang membuat Kampung Naga ini unik adalah karena penduduk kampung ini seperti tidak terpengaruh dengan modernitas dan masih tetap memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka. Uniknya lagi, karena areal Kampung Naga yang terbatas hingga tak memungkinkannya lagi mendirikan rumah di kampung itu, banyak penduduk Kampung Naga pada akhirnya menyebar ke berbagai penjuru daerah seperti ke Ciamis dan bahkan Cirebon tapi penduduk yang tak lagi berdiam di Kampung Naga ini tetap saja masih menjunjung tinggi warisan adat budaya leluhurnya.

Kampung Naga dari ketinggian


Jalan setapak menuju Kampung Naga

Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih 4 ha. Kampung Naga  dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan Ieluhumya.  Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyarakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memelihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besar Islam misalnya Upacara Bulan Maulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang).

Kepatuhan warga Kampung Naga sendiri dengan tetap mempertahankan upacara-upacara adat, termasuk juga pola hidup mereka yang tetap selaras dengan adat leluhurnya seperti dalam hal religi dan upacara, mata pencaharian, pengetahuan, kesenian, bahasa dan sampai kepada peralatan hidup (alat-alat rumah tangga, pertanian dan transfortasi) dan sebagainya dengan dasar karena mereka begitu menghormati budaya dan tata cara leluhurnya. Mereka tetap kukuh dalam memegang teguh falsafah hidup yang diwariskan nenek moyangnya dari generasi ke generasi berikutnya. Kebiasaan yang dianggap bukan berasal dari nenek moyangnya dianggap tabu untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran adat yang dapat membahayakan bukan saja bagi si pelanggar, tetapi juga bagi seluruh isi Kampung Naga dan bagi orang-orang sa-Naga.

Jumlah keseluruhan penduduk  sekitar 325 orang, sebagian besar bertani dan berternak ikan. Tanaman pertanian yang ditanam biasanya adalah padi, jagung, sayur-sayuran dan apotik hidup. Tanah di kampung ini tergolong sangat subur, karena tekstur tanah yang miring, kemudian dibatasi oleh sungai, dan diapit oleh bukit - bukit yang lumayan terjal. Karena terletak di wilayah pegunungan, kondisi cuaca juga sangat membantu para petani di kampung ini, semua tanaman yang ditanam dapat tumbuh subur. Di belakang rumah penduduk,  terdapat kolam-kolam ikan, berisi ikan lele, ikan mas dan ikan gurame, yang setiap waktu siap dipanen dan memberikan penghasilan lumayan buat para penduduk.

 

Masuk Kampung Naga


Area depan Kampung Naga

Disamping gaya hidup dan pola kebersamaan mereka yang tak kalah unik dari Kampung Naga adalah struktur bangunan tempat tinggal mereka. Keunikan tersebut tercermin dari bentuk bangunan yang berbeda dari bangunan pada umumnya termasuk letak, arah rumah hingga bahan-bahan yang membentuk rumah itu semuanya selaras dengan alam dan begitu khas. Dengan ketinggian kontur tanah yang berbeda-beda di tiap tempat, maka rumah-rumah di Kampung Naga di buat berundak-undak mengikuti kontur tanah. Deretan rumah yang satu lebih tinggi dari rumah yang lain dengan pembatas sangked-sangked batu yang disusun sedemikian rupa hingga membuat tanah yang di atas meski ada bangunannya tidak mudah longsor ke bawah dan menimpa rumah yang ada di bawahnya. Sekeliling kampung pun dipagari dengan tanaman (pohon bambu) hingga membentuk pagar hidup yang begitu asri.

Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau ijuk sebagi penutup bumbungan. Rumah-rumah panggung berderet rapi memanjang dari barat ke timur. Setiap rumah menghadap ke utara atau selatan. Setiap rumah terbuat dari kayu, dengan dinding dari anyaman bambu, beratap ijuk atau daun nipah, dan dikapur dengan warna putih. Perabotan rumah tangga seperti kursi dan meja tidak diperkenankan, apalagi peralatan elektronik seperti televisi, radio dan sebagainya. Bahkan mereka menolak pemasangan listrik di kampung mereka. Tetapi sudah terlihat ada beberpa rumah yang dilengkapi dengan televisi yang memakai sumber daya aki.

Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik), pintu bangunan terbuat dari serat rotan  Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Kampung Naga.
Rumah di Kampung Naga jumlahnya selalu dipertahankan, yaitu tidak boleh kurang dan lebih dari 118 bangunan. dari 118 bangunan tersebut, sebanyak 108 bangunan adalah rumah penduduk, sisanya adalah bangunan masjid, ruang pertemuan dan rumah agung ( rumah besar ) yang tidak boleh ditempati oleh siapapun. Bahkan ketika terjadi pernikahan antara muda-mudi dari kampung ini bisa jadi pasangan tersebut harus keluar dari Kampung Naga juga karena tidak tersedia tempat tinggal (rumah).

Dilihat dari bentuk perkampungannya, penduduk Kampung Naga sangat erat kekerabatannya. Hal itu tercermin dari pola rumah yang saling berkelompok dan saling berhadap-hadapan dengan tanah lapang ditengah-tengah sebagai areal bermain anak-anak. Seluruh rumah dan bangunan-bangunan yang ada atapnya memanjang arah barat ke timur, pintu memasuki kampung terletak di sebelah timur, menghadap ke sungai Ciwulan hingga jika dilihat dari ketinggian akan terlihat begitu indah dan mengingatkan kita pada atap-atap rumah di Tiongkok jaman dulu. Di bagian sebelah barat lapang terdapat bangunan masjid dan pancuran, sejajar dengan masjid terdapat bangunan yang dianggap suci yang dinamakan Bumi Ageung, sebuah bangunan rumah tempat menyimpan barang-barang pusaka serta rumah kuncen (Kepala Adat). Selain itu, terdapat bangunan tempat menyimpan hasil pertanian berupa padi yang disebut leuit.



Rumah di Kampung Naga


Kekerabatan yang erat


Perlengkapan khas penduduk Kampung Naga


Atap rumah yang menyatu


Di teras rumah yang khas dan asri

Sejarah/asal usul Kampung Naga menurut salah satu versi nya bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Awalnya penduduk di sana memeluk agama Hindu yang berasal dari Kerajaan Pajajaran, namun akhirnya memeluk agama Islam yang dibawa oleh Singaparana. Sembah Dalem Singaparana inilah yang kemudian menjadi leluhur dan sosok yang dihormati oleh masyarakat Kampung Naga.

Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya.

Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga.


Rumah yang khas



Pulang dari mencari kayu bakar


Penyimpanan kayu bakar di atas tungku dapur


Cendera mata Kampung Naga


Rumah untuk pertemuan


Masjid dengan beduk dan kentongan


Ada beberapa hal yang patut menjadi catatan jika ingin tetap mempertahankan kondisi Kampung Naga seperti apa adanya dari dulu. Masuknya televisi, walaupun belum banyak, lambat laun akan mempunyai pengaruh terhadap kearifan lokal mereka, terutama untuk generasi mudanya. Jika nantinya diperbolehkan tentu diperlukan usaha yang lebih keras untuk mempertahankan adat istiadat Kampung Naga ini. Akses masuk yang cukup mudah ke Kampung Naga, berada di tepi jalan besar, menjadi pisau bermata dua. Disatu sisi menjadikan Kampung Naga mudah dikunjungi, hal yang bagus untuk sebuah daerah wisata, namun hal ini juga menjadi ancaman tersendiri terhadap kelangsungan hidup adat istiadat Kampung Naga. Catatan ini perlu diperhatikan oleh para pihak yang berkepentingan dengan kelestarian kehidupan Kampung Naga. Sebagai warga negara yang merasa ikut memiliki warisan budaya yang luhur ini, kami tentu saja berharap kearifan lokal yang dipunyai oleh penduduk Kampung Naga ini dapat memberi pelajaran paling tidak bagaimana hidup harmoni dengan alam sekitar dan menjaganya.

Sabtu, 10 Desember 2011

Flores..., Labuan Bajo - P. Rinca (bag. 3)


Sudah menjelang petang pada saat kami meninggalkan Bena, persinggahan berikutnya adalah Bajawa yang berjarak 13 km, kota berudara sejuk ini, berada pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut, dikelilingi oleh gunung-gunung api. Bajawa merupakan pusat dari kawasan Ngada yang dihuni oleh suku Ngada, salah satu suku paling tradisional di Flores.

Menginap di salah satu hotel di Bajawa, kami menemui cukup banyak wisatawan asing yang menginap juga. Kota ini terlihat cukup siap menjadi kota tujuan wisatawan, cukup banyak hotel dan restoran yang siap menerima kunjungan wisatawan.

Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Labuan Bajo, melewati Ruteng. Sebetulnya ada satu tempat yang terkenal tetapi kami belum sempat mengunjunginya yaitu Riung yang berjarak 2,5 jam dari Bajawa. Mudah-mudahan lain waktu kami bisa ke sana.

Perjalanan menuju Ruteng seperti biasanya melewati perbukitan dengan medan jalan yang meliuk-liuk mengikuti tekstur perbukitan. Mata kembali dimanjakan dengan panorama alam yang luar biasa.

 Tekstur perbukitan dengan G. Inerie di latar belakang

 Serombongan bus kayu

Perjalanan menuju Ruteng dari Bajawa dapat ditempuh selama kira-kira 5 jam. Kami sempat mampir ke tempat pembuatan arak tradisional yang banyak dijumpai di sepanjang jalan. Pembuatan arak dengan bahan baku air nira dilakukan dengan sederhana. Nira ditampung di sebuah tempayan gerabah kemudian dipanaskan, uap yang keluar dari tempayan tersebut dialirkan melalui sebatang bambu yang panjang sehingga tercipta kondensat yang ditampung dengan jeriken di ujung bambu. Kadar arak yang didapat sangat tinggi, sehingga kalau disulut korek api bisa menyala, setelah sempat mencicipi kami beli untuk dibawa pulang.

Pembuatan arak Flores

Ruteng merupakan daerah yang dapat ditempuh sekitar 5 jam melalui perjalanan darat dari Bajawa. Kota yang didominasi oleh suku Manggarai ini berada di pusat kawasan Manggarai, pada kaki gunung dengan hamparan persawahan di sekelilingnya. 

Pengembalaan sapi

Dari Ruteng menuju Labuan Bajo dapat ditempuh sekitar 4 jam. Labuan Bajo, kota kecil yang dulunya merupakan pemukiman nelayan ini sekarang berkembang menjadi tempat wisata karena berfungsi sebagai pintu gerbang utama menuju Pulau Komodo. Berbagai fasilitas akomodasi dan restoran tersedia cukup lengkap di kota ini.

Di samping itu, Labuan Bajo juga dapat dicapai dengan menggunakan alat transportasi penerbangan dari Denpasar. Setelah mengunjungi pulau Komodo, sebagian wisatawan, terutama wisatawan dari Eropa, melanjutkan kegiatan dengan menjelajahi pedalaman Flores.

Tiba di Labuan Bajo hari sudah mulai gelap, dengan bantuan teman dari Bali yaitu Ketut Suastika yang mengoperasikan perusahaan tour dan travel di Pelabuhan Sape di Sumbawa, Labuan Bajo dan Raja Ampat, kami bergegas mencari hotel. Dengan bantuan beliau juga kami mendapatkan kapal untuk menyeberang besoknya ke Pulau Rinca. Karena kapal-kapal yang dioperasikan oleh Kt. Suartika sudah tersewa semuanya, akhirnya kami dapatkan juga kapal kecil dengan ongkos sewa Rp. 500.000 menuju P. Rinca pulang pergi. 

Menikmati malam hari di Labuan Bajo serasa berada di Kuta di tahun 90an. Sudah banyak hotel, homestay ataupun restoran yang kebanyakan diisi oleh turis asing. Dengan pengelolaan yang benar daerah ini sangat berpotensi maju dan menjadi tujuan wisata utama di NTT, salah satunya adalah karena menjadi pintu utama menuju Taman Nasional Komodo.
 

 Di Labuan Bajo


 Kapal LOB (Live Aboard) di Labuan Bajo


Perjalanan dari Labuan Bajo ke P.Rinca adalah sekitar 2 jam dengan melalui pulau-pulau kecil yang bertebaran di sekitar perairan Flores Barat. Cukup banyak kapal LOB (Live Aboard) di perairan ini, umumnya digunakan oleh para wisatawan untuk bermalam dan menyelam di perairan ini. Pemandangan yang menakjubkan tersaji sepanjang perjalanan dengan kapal kecil menuju P. Rinca. Dengan perairan yang cukup tenang dan gugusan pulau-pulau kecil menghijau menjadikan perjalanan 2 jam tidak terasa.



Siap-siap menuju P. Rinca

Gugusan pulau di jalur menuju P. Rinca

Rumah penduduk di pantai

Perbukitan di tepi pantai

Dermaga P. Rinca

Di Pulau Rinca ini kami mengunjungi Taman Nasional Komodo di Loh Buaya. Perairan di sekitar Loh Buaya ini sangat jernih. Perjalanan dari dermaga Loh Buaya ke Pos Ranger melewati pemandangan yang cantik, pohon2 kering berwarna putih, pasir coklat muda, dan bukit2 hijau.

 Pintu masuk Loh Buaya


Komodo di pintu masuk p. Rinca

Menuju Pos Ranger



Di Pos Ranger setelah membayar retribusi untuk pengunjung, kami diantar seorang ranger untuk trekking mengelilingi pulau. Pilihan trekking ada yg short-medium dengan waktu kira-kira 2 jam dan long trek yang lebih panjang. Komodo termasuk binatang buas dengan kemampuan melumpuhkan buruannya yang unik. Cukup dengan sedikit gigitan maka hewan besar seperti banteng liar pun akan mati perlahan-lahan. Keistimewaan yang lainnya adalah kemampuan mencium aroma darah dari jarak sekitar 5 km. Oleh karena itu sangat disarankan jika melakukan trekking pastikan tidak ada luka terbuka di bagian badan atau tidak sedang datang bulan bagi yang wanita. Karena area trekking adalah semak belukar disarankan juga untuk tidak terkena duri atau ranting tajam yang bisa menyebabkan luka dan mengeluarkan darah, karena akan tercium oleh komodo. 

Di P. Rinca komodo hidup liar, demikian juga dengan hewan lainnya seperti banteng dan kera, jadi dibiarkan seperti habitat aslinya. Hidup komodo tergantung dari hewan buruan yang ada di sana seperti banteng dan kera. Bahkan komodo akan memakan anak-anak komodo yang baru menetas, jika anak komodo tersebut tidak cepat-cepat naik ke atas pohon setelah lahir. Anak-anak komodo bisa hidup di atas pohon sampai berbulan-bulan. 



Komodo di dekat pos ranger


Di salah satu sudut pos ranger


Jalur trekking

Komodo bisa datang darimana saja

Sepenggal kisah, kepopuleran Pulau Komodo berawal pada tahun 1910 ketika Pasukan Belanda menerima laporan adanya monster naga yang mendiami sebuah pulau yang kemudian diterbitkan dalam sebuah paper Hindia Belanda oleh Peter Ouwens, direktur Museum Zoologi di Bogor. Kabar ini pula yang mendorong W. Douglas Burden melakukan ekspedisi ke Pulau Komodo tahun 1926 dan kemudian menjadi orang pertama yang memberi nama Komodo Dragon.

Taman Nasional Komodo ini diresmikan pada 1980 dengan luas 1817km2 yang 6 tahun kemudian ditetapkan sebagai situs warisan alam dunia dan cagar biosfir oleh UNESCO tempat konservasi untuk melestarikan komodo. Sebetulnya bukan hanya habitat naga purba yang legendaris ini saja yang dilestarikan karena TNK juga rumah bagi begitu banyak keanekaragaman hayati didarat maupun laut.

TNK terdiri dari 3 pulau besar yang indah, Pulau Komodo, Rinca dan Padar, selain tempat habitat komodo taman ini juga sebagai rumah bagi setidaknya 1000 spesies ikan, ratusan spesies karang, koral dan 70 jenis tanaman sponge, 19 spesies paus dan lumba-lumba, juga banyak terdapat plankton yang merupakan makanan utama Pari Manta (Manta Birostris), binatang eksotis yang bisa dijadikan ikon bahari kawasan TNK.

Ada begitu banyak pertunjukan alam di TNK tapi pertunjukan utama tentu menyaksikan dari dekat satu-satunya habitat asli dari salah satu hewan purba yang masih berkembang biak sampai saat ini, bisa berdekat-dekat dengan hewan ini sambil membayangkan hidup jutaan tahun lalu.

Komodo mempunyai musim kawin sekitar bulan Juli-Agustus, sehingga jika ke sana di bulan berikutnya ada kemungkinan kita bisa menyaksikan komodo bertelur walaupun jarang, paling tidak bisa melihat sarangnya. Kami ke sana pada Bulan Oktober awal, beruntung bisa menyaksikan komodo yang sedang bekerja membuat sarang, sebuah pemandangan yang cukup langka. Sambil mengendap-endap supaya tidak mengganggu komodo kami berhasil mengambil gambarnya, walau tidak sempurna.


 Selalu waspada


Menggali sarang

Menggali terus

Tidak terusik

Awasi sekitar

Di depan tulang belulang kera


Setelah melakukan trekking selama hampir 2 jam kami kembali ke pos ranger untuk beristirahat. Ada kantin yang cukup membantu pengunjung yang menjual aneka minuman maupun makanan kecil. 

Lewat tengah hari kami siap-siap meninggalkan P. Rinca kemabli ke Labuan Bajo. Makan siang dilakukan di atas kapal yang melaju tenang, dengan panorama indah sepanjang perjalanan.


Kembali ke Labuan Bajo

Pemandangan pulang

Labuan Bajo


Sampai Labuan Bajo hari menjelang sore, masih sempat menikmati makan malam di tepi pantai. Cukup banyak penjual makanan, terutama hasil laut yang berjualan di pinggir pantai.

Besoknya kami kembali ke Gresik lewat Bandara Komodo di Labuan Bajo, transit di Denpasar.



 Di Bandara Komodo

Pesawat jet bermesin 4
 
Pengalaman yang sangat berkesan, mengunjungi Flores salah satu tempat yang istimewa di Nusantara, membuat kebanggaan akan negeri sendiri semakin tebal, mudah-mudahan bisa kembali lagi ke tempat ini dimasa mendatang, Astungkara...

Rabu, 07 Desember 2011

Flores..., Ende - Bena Village (bag.2)

 
Hari sudah beranjak siang ketika kami kembali ke Moni dari Danau Kelimutu. Setelah sarapan dan minum kopi Flores yang nikmat, perjalanan berlanjut menuju Ende. Rencana perjalanan hari ini sampai di Bajawa setelah mampir di Ende dan Bena Traditional Village. 


Dari Kelimutu ke Ende adalah pengalaman yang tak terlupakan. Jalan meliuk-liuk mengikuti cara ular berjalan. Kebun-kebun rakyat melambaikan daun-daunnya menyapa kami. Tikungan, tanjakan, turunan menemani perjalanan sepanjang kira-kira 60 km. Mendekati Kota Ende, air terjun sedang dan kecil bermain di dinding bukit batu. 




Berangkat ke gereja

Jalanan mengitari perbukitan

Bus kayu khas Flores

Pemandangan sepanjang jalan

 Narsis sejenak

Jalan menuju Ende melalui deretan pegunungan terjal, tidak beraturan, dan kelihatan sulit untuk dilalui. Sekalipun demikian kenyataannya gunung-gunung ini menyimpan banyak hal mengagumkan, baik itu kawah-kawah gunung apinya maupun desa-desa tradisional dengan  beragam budaya dan bahasanya.


Pulau Flores sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Posisinya cukup strategis karena menjadi jalur lintasan perdagangan kayu cendana dari Pulau Timor ke Cina dan ke India. Hal ini membuat Kerajaan Gowa, Kerajaan Ternate, Bangsa Portugis dan Belanda berebut untuk menguasai pulau yang panjangnya 375 km ini.

Para pendatang ini, berusaha menanamkan pengaruhnya di wilayah pesisir, tetapi hanya sedikit yang dapat menyentuh daerah pedalaman karena terhalang oleh deretan pegunungan terjal tidak beraturan. Kini bagian dalam Flores sudah lebih mudah dicapai dengan adanya jalan yang naik-turun yang membelah gunung dan berkelok-kelok.



Menyusuri jalan aspal dari Kota Ende ke arah Bajawa pada sore hari merupakan pengalaman yang sensasional. Kumpulan batu-batu berwarna hijau muda di tepi jalan, ombak laut yang malas-malasan menggerayang pantai merupakan pemandangan di sisi kiri. Sedangkan disisi kanan kita bisa menyaksikan pohon kelapa yang menjulang dan pohon kemiri dengan daunnya yang berwarna putih. Buah kemiri menjadi produk andalan dari Pulau Flores.

Hari sudah siang pada saat kami tiba di Kota Ende, kota yang pernah menjadi tempat pengasingan Ir. Soekarno. Tidak disangka di kota ini kami bertemu dengan teman dari Gresik yang hijrah ke Ende. Sangat mudah menemukan tempat tinggalnya karena dia punya warung makan khas Jawa Timur dengan nama Warung Lamongan. Sambil bercengkrama kami makan siang di warungnya.  

Kami menyempatkan untuk mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno di Ende dan melihat pohon Pancasila di pusat kota Ende. Disebut pohon Pancasila karena batang pohon sejenis nangka (?), bercabang 5 dan tempat sekitar pohon tersebut konon dulunya sering dikunjungi dan dipakai tempat Bung Karno menghabiskan waktu ketika diasingkan ke Ende. Tidak jauh dari situ terdapat patung Bung Karno.


Rumah pengasingan Bung Karno


Pohon Pancasila


Teman lama dan warungnya di Ende


Dari Ende kami meneruskan perjalanan menuju Kampung Tradisional Bena, sebuah perkampungan tradisional yang terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Ngada. Desa ini terletak di bawah kaki Gunung Inerie sekitar 13 km arah selatan Kota Bajawa. Perkampungan adat ini terkenal karena keberadaan sejumlah bangunan megalitik yang dimiliki dan tata kehidupan masyarakatnya yang masih mempertahankan keaslian perkampungan tersebut.

Kampung adat Bena terletak tepat di lereng Bukit Inerie yang agak menonjol. Warga setempat menyebut tempat ini seperti berada di atas kapal karena bentuknya memanjang seperti perahu. Konon menurut cerita yang dipercaya secara turun temurun, pada zaman dahulu sebuah kapal besar pernah terdampar di atas lereng gunung itu. Kapal itu tidak bisa berlayar lagi dan terus terdampar sampai akhirnya air surut dan menjauh dari tempat itu.


Bangkai kapal kemudian membatu dan di atasnya kemudian digunakan masyarakat setempat sebagai lokasi perkampungan. Perkampungan Bena mempunyai daya tarik sendiri bagi para wisatawan karena bangunan megalitik berupa susunan batu-batuan kuno. Tidak ada yang mengetahui secara pasti siapa yang mendirikan bangunan megalitik tersebut, namun masyarakat setempat percaya kalau bebatuan tersebut disusun seorang diri oleh seorang lelaki perkasa bernama Dhake.

Menurut warga setempat, suatu waktu datanglah sekelompok orang dan membangun sebuah perkampungan di tempat tersebut yang kemudian diberi nama Bena. Uniknya, di antara mereka ada seorang lelaki bernama Dhake yang bertekad ingin menciptakan sebuah kampung yang agung dan indah. Maka timbulah gagasan dalam benaknya untuk merancang perkampungan itu dengan menyertakan batu-batu besar sebagai hiasannya.

Terdorong oleh gagasannya itu, ia kemudian pergi ke Pantai Aimere yang berjarak sekitar seratus kilometer dari perkampungan Bena. Dari sana ia mengambil batu-batu besar berbentuk lempengan panjang atau pun meruncing, lalu dipikulnya hingga ke Bena. Batu- batu itu kemudian disusun sedemikian rupa, ada yang berdiri dan ada pula yang dibiarkan mendatar. Sususan batu-batu itulah yang saat ini dikenal dengan megalit.

Para pengunjung akan melihat dengan jelas apa yang dimaksud dengan megalit itu. Bentuknya sederhana berupa susunan batu-batu yang teratur dan berada tepat di tengah perkampungan. Pada batu megalit ini terlihat jelas bekas telapak kaki yang diyakini masyarakat setempat adalah telapak kaki milik Dhake. Menurut cerita, pada saat membangun kampung Bena ini, batu-batu yang dipikul Dhake dari Aimere, masih lembek dan tidak sekeras yang sekarang ada sehingga bekas tapak kaki Dhake nampak jelas di atas batu. Para pengunjung yang datang ke tempat ini akan menemukan jejeran rumah-rumah penduduk yang masih sangat tradisional dan terletak saling berhadapan.


Susunan batuan kuno


Megalitik, susunan batu-batu kuno


Rumah-rumah adat yang sering disebut peo ini, terbuat dari papan berbentuk panggung, beratap alang-alang dipadukan dengan dinding bambu pada teras depan yang berukuran sekitar 10 kali 10 meter. Di bagian tengah kampung terdapat monumen adat yang dibangun seperti lopo (madhu) dan sebuah rumah kecil yang disebut bhaga. Kedua bangunan ini oleh masyarakat setempat dianggap sebagai simbol pemersatu dari suku yang menempati perkampungan itu. Terdapat kurang lebih 37 rumah adat yang dibangun mengelilingi halaman persegi yang cukup lebar yang disebut dengan Kisanatha yang dipakai lapangan umum untuk kegiatan sosial dan seremonial. Terlihat pula makam-makam yang ada di sekitar bangunan rumah mereka. Jika ada warga kampung yang meninggal, akan dimakamkan di sekitar rumah mereka.

Masyarakat setempat benar-benar bertekad untuk mempertahankan keaslian perkampungan tersebut. Semua rumah dibangun menyerupai rumah adat dan tidak diizinkan membangun rumah dengan campuran yang bergaya modern. Listrik pun tidak diizinkan sehingga untuk penerangan hanya digunakan lampu pelita. Hal ini sengaja dikondisikan untuk mempertahankan citra perkampungan adat tersebut sesuai sejarah pembangunannya.

Masyarakat kampung Bena umumnya ramah terhadap pengunjung, dimana setiap pengunjung yang datang pasti disambut dengan senyuman, sebagai sapaan. Kita bisa bertanya-tanya tentang budaya yang mereka miliki dan dengan sangat baik akan dijelaskan kepada kita perihal budaya setempat.

Perjalanan menuju kampung adat Bena ini memerlukan kondisi kendaraan yang prima, karena jalannya menanjak dan menurun dengan sudut yang ekstrem. Pemandangan yang eksotis dengan latar belakang Gunung Inerie yang khas, berbentuk segitiga, hampir seperti gambar-gambar gunung yang digambar anak SD, merupakan obat penebus rasa lelah. Sudah cukup sore ketika kami sampai di Bena, disambut oleh penduduk setempat dengan keramahan yang khas. Ketika kami mengisi buku tamu terlihat jelas bahwa yang mengunjungi Kampung Bena ini didominasi oleh tamu mancanegara. Sangat sedikit tamu lokal, cukup prihatin juga, mudah-mudahan nantinya lebih banyak lagi tamu lokal yang ke sini.


Jalan masuk Bena


Mengisi waktu luang di Bena


Struktur rumah adat di Bena


Rumah adat dengan tenun ikat


Makam di Kampung Bena


Gunung Inerie di latar belakang


Dari ujung kampung


Serasi dengan alam


Penduduk yang ramah

Berkeliling di pemukiman ini seperti memasuki peradaban masa silam, sederhana tapi penuh makna. Begitu banyak kearifan yang dipunyai mereka, sehingga mereka bisa hidup dengan nyaman di tengah alam sekitarnya.