Rabu, 30 November 2011

Candi Sukuh...


Candi Sukuh, sebuah candi yang mungkin sering dikatakan orang sebagai candi porno merujuk pada penggambaran organ vital yang jelas di relief candi, dibangun pada sekitar abad XV terletak di lereng gunung Lawu di Wilayah Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java.


Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 m di atas permukaan laut. Candi ini terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 km dari kota Karanganyar dan 36 km dari Surakarta.


Perjalanan ke Candi Sukuh dapat ditempuh dari arah Surakarta, Karanganyar, Tawangmangu terus naik ke Desa Sukuh, atau dari arah Magetan, Sarangan, Tawangmangu. Dari jalan utama Tawangmangu Karanganyar perjalanan menuju Candi Sukuh melewati jalan kecil menanjak dan berkelak-kelok dengan pemandangan yang mempesona di kiri kanannya. Karena lokasinya yang cukup tinggi, seringkali kabut mengiringi dan menyelimuti sepanjang perjalanan. Begitupun ketika sampai di lokasi candi, kabut menjadi hal yang biasa, sering menutupi candi sehingga memunculkan pemandangan dan suasana khas.

Gerbang pertama Candi Sukuh


Relief Lingga Yoni di Gapura Utama

Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan trap (teras), dimana semakin kebelakang semakin tinggi. Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi. Dilantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan phallus berhadapan dengan vagina. Sepintas memang nampak porno tetapi relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”. Boleh dikata relief tersebut berfungsi sebagai "suwuk" untuk "ngruwat", yakni membersihkan segala kotoran yang melekat di hati setiap manusia.


Pelataran kedua Candi Sukuh


Kabut mulai turun di latar belakang

Candi utama terletak di trap ketiga yang merupakan trap tertinggi. Bentuk candi berupa trapezium memang tak lazim seperti umumnya candi-candi lain di Indonesia. Sekilas tampak menyerupai bangunan suku Maya di Meksiko atau suku Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan akan bentuk-bentuk piramida di Mesir. Pada trap ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masih sering dipergunakan untuk bersembahyang.


Candi utama


Relief di kanan candi utama


Patung dan relief di sisi kanan depan candi utama


Di pelataran puncak Candi Sukuh

Pada sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh penguasa ghaib kompleks candi tersebut . Di dekat candi kecil terdapat arca kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar gunung Mahameru, juga berkaitan dengan kisah suci agama Hindhu yakni "samudra samtana" yaitu ketika dewa Wisnu menjelma sebagai kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain mencari air kehidupan (tirta prewita sari).


Candi Kyai Sukuh


Arca kura-kura

Di sebelah selatan jalan batu, di pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari.di kayangan dengan nama bethari Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil “ngruwat”.Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala.


Relief Cerita Sudamala 1


Relief Cerita Sudamala 2


Relief Cerita Sudamala 3


Relief Cerita Sudamala 4


Relief Cerita Sudamala 5

Masih terdapat banyak lagi relief yang masing-masing mempunyai arti dan makna yang dalam. Dilihat dari candrasangkala yang ada, Candi Sukuh dibangun sekitar masa memudarnya kekuasaan Kerajaan Majapahit. Candi Sukuh ini dan juga Candi Cetho diatasnya ada yang menghubungkan dengan masa-masa akhir Prabu Brawijaya V.

Hari sudah menjelang gelap ketika kami meninggalkan pelataran candi untuk meneruskan perjalanan menuju Candi Cetho. Astungkara... 

Gedong Songo..terlempar ke masa lalu


Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi, Bandungan, Kabupaten Semarang Jawa Tengah tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi, diketemukan oleh Sir Stanford Raffles pada tahun 1804. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C).


Untuk sampai ke kompleks candi bisa ditempuh dari Kota Ambarawa dengan jalanan yang naik, dan kemiringannya sangat tajam (rata-rata mencapai 40 derajat). Lokasi candi juga dapat ditempuh dalam waktu 10 menit dari obyek wisata Bandungan.

Sesuai namanya komplek candi ini sebenarnya terdiri atas sembilan candi, berderet dari bawah ke atas yang dihubungkan dengan jalan setapak bersemen. Satu candi yang berada di puncak paling tinggi disebut Puncak Nirwana. Sayang sekali dari sembilan candi dua diantaranya sudah rusak hingga sekarang tinggal tujuh buah.

Pada awalnya disebut Gedong Pitoe karena pertama kali ditemukan oleh Raffles hanya terdiri dari tujuh bangunan candi. Namun kemudian ditemukan dua candi lagi walaupun dalam keadaan tidak utuh. Candi-candi yang terbuat dari batu andesit tersebut telah dipugar oleh Dinas Purbakala, yaitu candi I & II dipugar tahun 1928 – 1929, sedangkan candi III, IV, V dipugar tahun 1977 – 1983.


Candi-candi yang terletak di Gunung Ungaran ini diyakini sebagai Candi Hindu dengan ditemukannya arca-arca Hindu yang terletak didalam dan disekitar lokasi candi. Diantaranya dengan ditemukannya arca Ciwa Mahadewa, Ciwa Mahaguru, Ganeca, Durga Mahisasura Mardhini, Nandi Swara, Mahakala dan Yoni yang ada di bilik candi. Keistimewaan yang lain dari Candi Gedong Songo adalah terletak pada arca gajah dalam posisi jongkok di kaki Candi Gedong III, dan Yoni dalam bentuk persegi panjang pada bilik Candi Gedong I.


Mengenai kapan berdirinya Candi Gedong Songo tidak ada yang tahu pasti, namun diperkirakan oleh para ahli bahwa candi-candi tersebut telah dibuat semasa dengan Candi Dieng yang dibuat pada kurun waktu abad VII – IX Masehi pada masa Dinasti Syailendra. Hal ini diketahui dari artefak-artefak yang ditinggalkan di sekitar lokasi candi, serta adanya kemiripan-kemiripan fisik antara Candi Gedong Songo dan Candi Dieng. Lokasi kedua candi yang terletak di ketinggian gunung semakin menambah keyakinan bahwa kedua candi tersebut dibangun pada masa yang sama.

Perjalanan menuju Gedong Songo merupakan lanjutan perjalanan kami dari Dieng, turun ke Wonosobo, Temanggung, Ungaran, Bandungan kemudian langsung naik ke Gedong Songo. Suasana hijau dan asri, sejuknya angin menyambut ketika sampai di depan pintu gerbang kompleks candi. Setelah membeli tiket masuk, melihat medan yang cukup terjal diputuskan untuk mengelilingi candi dengan berkuda. Sewa satu ekor kuda Rp. 50.000 sudah termasuk ongkos pemandunya.

Gerbang Candi Gedong Songo


Siap-siap keliling candi


 Jalan setapak menuju candi


Serasa sisa pasukan P. Diponegoro


Candi utuh dan yang sudah runtuh


Candi Gedong Songo tidak hanya menawarkan wisata sejarah, namun juga menawarkan wisata keindahan alam juga wisata olah raga. Candi yang terletak di ketinggian Gunung Ungaran ini memang menampilkan pesona alam yang luar biasa karena lokasinya yang terletak di ketinggian gunung. 

Pemandangan lain, yaitu sumber air panas alam kita juga bisa temui antara perjalanan antara lokasi candi ketiga dan keempat. Disamping sumber air panas tersebut, disediakan tempat mandi dengan tempat tertutup, sehingga buat yang mau menikmati sumber air panas bisa meluangkan waktu ntuk mandi.


' Anggota '



Sumber air panas di kejauhan


Berada di komplek Candi Gedong Songo di kaki Gunung Ungaran seperti terlempar ke masa lalu dengan segala kekunoannya. Tujuh buah candi berdiri membisu yang satu dengan lainnya terpisah sekitar 100 meter terasa memancarkan aura kedamaian yang abadi. Candi Gedong Songo memang dikitari hamparan kebun bunga di kanan kirinya, mengingatkan pada keindahan kahyangan tempat dewa-dewa bersemayam dalam cerita pewayangan.

Warisan yang tak ternilai nilainya ini menjadi tugas kita untuk merawatnya, menjaganya agar anak cucu kita nanti bisa tahu betapa kita punya leluhur yang demikian tinggi budaya dan peradabannya. Ketika melihat serombongan pengunjung beramai-ramai naik ke badan candi kemudian berfoto, hati menjadi miris sambil berharap semoga candi cukup kuat menampung mereka. Terbayang jika setiap pengunjung berombongan naik setiap hari sampai berapa lama candi-candi itu akan bertahan, mungkin perlu diatur hal-hal seperti ini agar warisan itu bisa kita rawat.

(ref. navigasi.net, id.merbabu.com) 

Dieng, negeri kayangan di atas awan


Dieng, sebuah tempat yang sudah lama menjadi angan-angan untuk kami kunjungi. Sudah banyak tulisan tentang Dieng yang mengabarkan keelokan tempat itu, yang hanya menambah hasrat kami untuk segera ke sana. Dieng adalah sebuah kawasan di daerah dataran tinggi di perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Kabarnya Dieng adalah dataran tinggi tertinggi nomor dua di dunia setelah dataran tinggi Nepal. Dari sisi itu saja sudah sangat menantang untuk dikunjungi ditambah lagi dengan  adanya komplek candi yang bertebaran di sana yang menunjukkan betapa tempat itu pernah menjadi tempat yang penting di masa silam, juga menunjukkan betapa tingginya budaya leluhur kita.

Dieng berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu "Di" yang berarti tempat yang tinggi atau gunung dan "Hyang" yang berarti kahyangan. Dengan menggabungkan kedua kata tersebut, maka bisa diartikan bahwa "Dieng" merupakan daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.

Dieng 2093 M DPL


Kawasan ini terletak sekitar 26 km di sebelah Utara ibukota Kabupaten Wonosobo, dengan ketinggian mencapai 6000 kaki atau 2.093 m di atas permukaan laut. Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin dengan temperatur berkisar 15—20°C di siang hari dan 10°C di malam hari. Bahkan, suhu udara terkadang dapat mencapai 0°C di pagi hari, terutama antara Juli—Agustus. Penduduk setempat menyebut suhu ekstrem itu sebagai "bun upas" yang artinya embun racun karena embun ini menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.


Dieng dapat dicapai dengan kendaraan bermotor dari arah Wonosobo dengan pemandangan alam yang luar biasa memikat depanjang jalan. Jika cuaca bagus akan terasa benar kita berkendara di atas awan, disamping jalan yang meliuk-liuk terhampar gumpalan awan. Benar-benar serasa menuju negeri di atas awan. Jika datang dari arah Semarang bisa lewat jalur Ungaran, Temanggung, Parakan terus Wonosobo. Jika dari arah barat biasanya lebih mudah kalau lewat Banjarnegara terus Wonosobo.

Setelah cukup referensi tanggal 4 Desember 2009 kami berangkat dari Gresik jam 07.00 pagi lewat jalur pantura Jawa, melewati jalan yang mulus. Makan siang di Warung Soto Kudus Pak Denuh di Kudus, perjalanan dilanjutkan ke arah Demak, Ungaran, Temanggung, Parakan ke Wonosobo. Mulai dari Temanggung sudah terasa hawa dingin dan kabut sepanjang jalan, ditambah hujan gerimis dan pemandangan perbukitan dan ladang yang hijau dan asri.

Di Wonosobo hari mulai gelap karena kabut dan hujan tetapi perjalanan tetap diteruskan melewati area perbukitan dengan jalan yang sempit dan meliuk-liuk dengan hamparan awan tipis di tepi jalan. Suasana di mobil jadi sedikit mencekam karena berangsur gelap dan karena serasa menuju negeri di atas awan kami setel gamelan Gong Lelambatan Bali yang biasa diperdengarkan jika ada piodalan di pura.

Hampir magrib kami sampai di Dieng, makan malam yang panas-panas ditambah minum purwaceng, minuman khas Dieng. Sambil ngobrol dengan pemilik warung sekalian mencari info penginapan dan guide untuk menemani ke Gunung Sikunir besok subuh melihat matahari terbit. Semakin malam udara semakin dingin, tetapi terbantu dengan perapian yang selalu ada di setiap penginapan, istirahat untuk persiapan besok subuh menuju Gunung Sikunir menyaksikan keunikan pemandangan matahari terbit.

Jam 03.00 pagi setelah dibangunkan guide kami siap-siap berangkat dengan mobil menuju Telaga Cebong. Setelah mobil diparkir perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki melewati jalan setapak di pinggir kebun kentang sampai ketinggian tertentu sebelum sampai puncak. Perjalan dengan jalan kaki ditempuh sekitar 30 menit. Dari Gunung Sikunir kita bisa melihat matahari terbit dan pemandangan dari gunung disekitarnya dengan kabut tebal yang kadang hilang kadang muncul memberi kesan selimut gunung yang kadang terkuak kadang tertutup. Benar-benar pemandangan yang unik.

Sunrise dari Gunung Sikunir


Sunrise view dari Puncak Sikunir


Jalan setapak turun Gunung Sikunir

Dari Gunung Sikunir perjalanan kami teruskan menuju ke kawah-kawah yang masih aktif. Sebetulnya yang paling pas adalah menuju ke DPT (Dieng Plateau Theatre) dulu untuk menyaksikan film tentang Dieng, tetapi karena masih terlalu pagi diputuskan ke kawah terlebih dulu.
Dieng terbentuk dari gunung api tua yang mengalami penurunan drastis (dislokasi), oleh patahan arah barat laut dan tenggara. Gunung api tua itu adalah Gunung Prau. Pada bagian yang ambles itu muncul gunung-gunung kecil yaitu: Gunung Alang, Gunung Nagasari, Gunung Panglimunan, Gunung Pangonan, Gunung Gajahmungkur dan Gunung Pakuwaja.


Beberapa gunung api masih aktif dengan karakteristik yang khas. Magma yang timbul tidak terlalu kuat tidak seperti pada Gunung Merapi. Sedangkan letupan-letupan yang terjadi adalah karena tekanan air bawah tanah oleh magma yang menyebabkan munculnya beberapa gelembung-gelembung lumpur panas. Fenomena ini antara lain dapat dilihat pada Kawah Sikidang atau Kawah Candradimuka. Beberapa titik tempat keluarnya air panas yang diikuti dengan keluarnya asap belerang berpindah tempat sehingga kita perlu waspada ketika menginjakkan kaki saat berjalan menuju ke Kawah Sikidang. Kawah aktif yang banyak dikunjungi wisatawan dan dapat dilihat dari bibir kawah, terdapat semburan lava dan kepulan asap serta aroma belerang yang khas. Lubang kawah tampak jelas berisi air dan lava berwarna kelabu, yang gemulak dan mendidih, sering berpindah tempat bahkan melompat seperti seekor kidang.


Di pinggir Kawah Sikidang


Di bibir kawah



' Anggota '

Dari kawasan kawah kami menuju ke Telaga Warna yang merupakan salah satu objek wisata andalan di Dieng.


Sudut favorit Telaga Warna Dieng


Anggota di Telaga Warna Dieng


Perjalanan berlanjut menuju kompleks candi yang ada di Dieng. Dilihat dari bentuk candi-candi yang ada di Dieng terdapat kemiripan dengan candi yang ada di Gedong Songo dan Candi Ijo di Yogya. Candi-candi di Dieng diyakini sebagai tanda peradaban Hindu di Pulau Jawa pada masa Sanjaya pada abad ke-8. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gugusan candi di Dieng yang konon untuk memuja Dewa Syiwa. Candi-candi tersebut antara lain: Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Sembadra, Candi Gatot Kaca.

Penamaan candi-candi itu sendiri diperkirakan baru dimulai pada abad ke-19 sedangkan nama asli candi-candi tersebut belum diketahui dengan pasti. Candi-candi tersebut dibangun dengan menggunakan konstruksi batu andesit yang berasal dari Gunung Pakuwaja yang berada di selatan komplek Candi Dieng.

Kompleks candi ini pertama kali ditemukan oleh seorang tentara Inggris bernama Van Kinsbergen pada tahun 1814. Berbeda dengan candi-candi lain yang sebagian besar ditemukan terpendam di dalam tanah, candi-candi di dataran tinggi Dieng ini pada waktu itu terendam air rawa-rawa. Proses pengeringan dimulai lebih dari 40 tahun kemudian. Entah siapa yang memberi ide, candi-candi ini kemudian diberi nama sesuai dengan nama-nama tokoh pewayangan oleh penduduk sekitar. Candi utamanya adalah Candi Arjuna, yang berhadapan dengan candi berbentuk memanjang dengan atap limasan yang sering disebut sebagai Candi Semar.

Di sebelah kirinya berdiri berjajar Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Candi Puntadewa memiliki bentuk yang hampir mirip dengan Candi Arjuna, sementara Candi Srikandi dan Candi Sembadra sedikit lebih kecil dan pendek. Berdasarkan cerita penduduk sekitar, Candi Puntadewa berada di tengah-tengah Srikandi dan Sembadra sebagai penengah bagi kedua kakak beradik yang sama-sama menjadi istri dari Arjuna tersebut. 


Candi Bima


Kompleks Candi Arjuna


Kompleks Candi Arjuna 2


Konpleks Candi Arjuna 3


Kompleks Candi Arjuna merupakan candi Hindu tertua di Pulau Jawa yang diperkirakan dibangun pada tahun 809 M dan merupakan tempat pemujaan Dewa Siwa. Hal ini terlihat dari adanya Lingga dan Yoni di dalam candi utama, serta arca Dewi Durga, Ganesha, dan Agastya di relung-relung bangunannya. Namun arca-arca ini sekarang ditempatkan di dalam Museum Kaliasa, tidak jauh dari bangunan candi. Secara arsitektur, Candi Arjuna masih dipengaruhi oleh budaya India yang sangat kental. Bentuknya mirip dengan candi di India selatan yang disebut Wimana. Sementara itu Candi Semar kemungkinan besar mengambil bentuk mandapa, yang menjadi bagian dari candi di India, sebagai tempat untuk para peziarah dan festival.

Tidak banyak relief yang ditemukan di kompleks candi ini. Hanya ada relief yang menggambarkan ketiga Dewa Trimurti yaitu Siwa, Wisnu dan Brahma, yang semakin memperkuat bukti bahwa candi ini adalah candi Hindu. Namun anehnya, relief ini tidak dipahatkan pada candi utama. Penggambaran ketiga dewa ini terdapat pada dinding-dinding Candi Srikandi. Sementara dinding candi-candi lainnya nampak polos.


Tim Jabar dan Jatim di Candi Dwarawati


Sebelum meninggalkan Dieng kami menyempatkan waktu untuk melihat film di DPT, yang menceritakan sejarah terbentuknya Dataran Tinggi Dieng dan perkembangannya sampi bencana yang pernah terjadi, yang paling terkenal peristiwa keluarnya gas beracun dari Kawah Sinila.


Dieng Plateau Theatre


Dieng, salah satu tempat indah di muka bumi, salah satu tempat dimana peradaban leluhur kita dulu begitu luhur dan tinggi, diwariskan kepada kita, supaya kita selalu ingat siapa kita, dari mana asal kita, jati diri kita. Suksma pekulun betaran tityang....  


Selasa, 29 November 2011

Eksotisme Madura



Jembatan Suramadu yang menghubungkan Jawa dengan Madura membawa begitu banyak perubahan. Tidak saja terhadap moda transportasi kedua wilayah itu melainkan juga kepada banyak aspek kehidupan masyarakat, geliat ekonomi membesar, peluang bisnis baru, kehidupan sosial. Paling terasa memang perubahan atau kemudahan akses ke Madura. Jika menggunakan ferry, penyeberangan dilakukan sekitar 30 menit, melewati jembatan baru ini tidak sampai 5 menit, perbedaan waktu yang cukup membuat orang tidak ragu untuk berkunjung ke Madura. Pulau Madura panjangnya sekitar 160 km dan luas kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali)

Secara politis, Madura selama berabad-abad telah menjadi subordinat daerah kekuasaan yang berpusat di Jawa. Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa timur seperti Kediri, Singasari dan Majapahit. Di antara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak Gresik, dan Surabaya. Pada tahun 1642, Madura ditaklukkan oleh Mataram. Sesudah itu, pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur


Setelah membayar tiket Rp. 30.000 untuk mobil, akan didapat sensasi tersendiri melewati Jembatan Suramadu, naik mobil melintasi laut Selat Madura, bagi yang terbiasa melintasi jembatan yang melintasi sungai, akan menjadi pengalaman unik pada awalnya.

Sampai di ujung jembatan akan disambut dengan deretan warungdi kedua tepi jalan sepanjang kurang lebih 1 km ( dan terus bertambah ), yang bisa dijadikan tempat nongkrong menikmati berbagai macam hidangan khas Madura sampai tahu Sumedang. Akses jalan yang bagus dan lebar sepanjang jalur keluar ini sampai di persimpangan menuju Bangkalan ke kiri dan Sampang ke kanan.


Penelusuran kami dimulai dengan mengambil jalan ke kanan menuju Sampang, jalan lumayan sempit tetapi cukup bagus. Di jalur ini terdapat pantai yang cukup dikenal, Pantai Camplong, tempatnya bagus dengan dukungan akomodasi yang memadai, terdapat penginapan Camplong Cottage yang bisa jadi pilihan.

Kota berikutnya yang kami lewati adalah Pamekasan, kota yang besar dengan kerajinan batik yang terkenal. Di jalur Sampang – Pamekasan ini terdapat tempat yang unik dan banyak dikenal yaitu sumber api alam abadi yang biasa disebut Api Tak Kunjung Padam yang banyak dikunjungi wisatawan.

Sedikit di luar kota Pamekasan terdapat Vihara Avalokitesvara, sebuah vihara dimana di dalamnya terdapat vihara, klenteng, musala dan pura. Lokasinya masuk ke kanan dari jalan raya Pamekasan – Sumenep. Informasi dari penjaga disana vihara ini sangat banyak dikunjungi dari berbagai daerah di Indonesia dan negara tetangga. Ada tempat yang disediakan bagi pengunjung yang ingin bermalam di sana.

Vihara Avalokitesvara
 

Bagian Dalam Vihara
 

Pura di lokasi Vihara
 

Tempat Bermalam

Perangkat Wayang Kulit di Vihara
 

Kota berikutnya yang kami kunjungi adalah Sumenep, kota paling timur di Madura, dikenal karena budayanya dan banyaknya peninggalan kerajaan seperti Keraton Sumenep dan Makam Raja-raja Asta Tinggi, Museum Sumenep sampai Pantai Lombang dengan pohon cemara udang yang hanya ada di sedikit daerah di dunia. Kuliner khas Madura sangat banyak ditemukan di Sumenep, seperti Soto Pohong, Apem Madura, Kalsot, Campor. Sumenep merupakan kota besar dengan dukungan akomodasi bagi pendatang yang sangat memadai. Banyak pilihan hotel dan tempat makan yang nyaman

Keraton Sumenep tidak lagi menjadi tempat tinggal raja atau keturunan raja, pendoponya hanya digunakan untuk acara-acara penting. Di sebelah pendopo terdapat Taman Sare yang dulunya berfungsi sebagai tempat istri dan putri raja mandi.

Koleksi Kereta Kencana di Museum Sumenep

Museum Sumenep

Masuk Keraton Sumenep

 Bagian Dalam Keraton Sumenep

 Keraton Sumenep dari sisi kanan depan

Gerbang Asta Tinggi

 Asta Tinggi

Pintu Gerbang bagian dalam Asta Tinggi

Bagian dalam Asta Tinggi

Salah satu komplek makam di Asta Tinggi

 Makam di Asta Tinggi

Kuliner khas Madura di Sumenep sangat banyak, dimulai dari makan siang dengan Soto Pohong. Soto khas Madura dengan bumbu unik, daging dan jeroan, sebagai pengganti nasi atau ketupat dipakai pohong ( ketela ). Pohong khas Madura sudah terkenal dengan aromanya yg manis dan empuk, untuk pengganti nasi di Soto Pohong, pohong dipotong persegi dan dikukus.

Kuliner berikutnya dinikmati saat makan malam adalah Kalsot ( kaldu soto ), kalsot ini adalah semacam gulai dari otot kaki sapi atau yang biasa kita kenal kikil, dengan buah kaldu kikil yang kental dan gurih, dicampur dengan kacang hijau, disajikan beserta sepiring ubi yang dibuat semacam perkedel dan sepiring lontong. Kalsot yang terkenal dapat dinikmati di Kalianget, tempatnya cukup unik, dari jalan raya masuk gang kecil dengan tanda lampu ublik di depannya. Jika ubliknya masih menyala artinya kalsotnya masih ada, jika padam berarti sudah habis.

Ublik masih menyala di depan gang

Suasana warung Kalsot

Untuk sarapan tersedia Campor, hidangan dengan bumbu khas kacang merah dan berbagai bumbu lainnya. Sangat mantap disantap saat sarapan, bisa ditemukan di daerah dekat dengan Asta Tinggi, dari jalan raya masuk ke gang kecil di area pemukiman penduduk.

Warung penjual campor

Campor dengan telor setengah matang

 Campor


Tempat menarik lainnya di derah timur Madura adalah Pantai Lombang, pantai dengan pasir putih yang sangat halus dan tanaman cemara udang di sepanjang pantai, menjadikan pantai ini sangat indah. Seandainya didukung dengan sarana transportasi dan akomodasi yang memadai pantai ini akan menjadi tujuan wisata utama di Madura.

Pantai Lombang

 Barisan cemara udang

 Ombak yang bersahabat
 Pohon cemara udang sepanjang pantai

Perahu nelayan untuk disewa


Perjalanan berlanjut menuju sisi utara pulau, dari Pantai Lombang melewati bukit menuju Pantai Slopeng di sisi utara. Pantai Slopeng berpasir putih sama dengan Pantai Lombang, cukup banyak tempat berteduh di pantai yang disiapkan untuk para pengunjung. Sangat perlu untuk ditambah sarana pendukung seperti akomodasi yang lebih memadai.


 
Pantai Slopeng

Pasir putih Pantai Slopeng

Sarana transportasi di sisi utara Madura cukup bagus, jalan mulus tetapi agak sempit, sepanjang pantai sampai di wilayah Kabupaten Bangkalan. Persinggahan berikutnya adalah di Makam Air Mata Ibu. Makam ini merupakan Makam istri Raja Cakraningrat. Pahatan batu pada makam itu begitu indah dan mempunyai ragam ukir yang spesifik. Di sini terdapat sumur yang airnya dipercaya berkhasiat, diantaranya adalah untuk awet muda. Tersedia banyak jeriken berbagai ukuran bagi pengunjung yang ingin membeli dan membawa pulang air dari sumur tersebut. Masih cukup banyak peminta-minta yang sedikit memaksa pengunjung sehingga mengganggu kenyamanan.

Pintu masuk Makam Air Mata Ibu

 Jalan menuju sumur air mata ibu

Pintu masuk makam

Makam Air Mata Ibu

Deretan Makam di Makam Air Mata Ibu


Kami kembali ke Gresik melewati Bangkalan, banyak sekali rumah makan baru di pinggir jalan menuju Suramadu, salah satu yang terkenal Bebek Sinjay. Tidak sempat mencoba nasi serpang, nyalete dan kuliner lain khas di Bangkalan. Setelah dua hari semalam di Madura terasa sekali Madura memiliki sesuatu yang sangat berbeda dari kesan yang ada selama ini tentang Madura yang keras, tandus. Daya hidup yang luar biasa tinggi yang dimiliki orang-orang Madura adalah kekuatan, potensi seni yang belum tergali tinggal menunggu waktu untuk keluar dengan dahsyat.